Perjalanan Menuju Puncak Acara


Sabtu 19/8/2006: Perjalanan Menuju Puncak Acara

Catatan: Robertus Hendra

clip_image002

Tepat pukul 05.00 pagi saya telah tiba di bandara Soekarno-Hatta seperti yang telah disepakati dengan A Sang yang sehari sebelumnya telah mengingatkan bahwa tiket saya ada padanya. Begitu turun dari taksi, saya langsung mendapatkan beberapa orang tanghak kita yang bertugas sebagai panitia. Mereka sudah dari tadi berdiri di depan garis pembatas untuk antrean calon penumpang yang akan check-in, yaitu: Herry Sukianto (A Kiat), Herry Tiono (A Liat), Mario Tan, A Sang. Wah, tanghak-tanghak panitia di Jakarta benar-benar menunjukkan dedikasinya dengan sudah berada di bandara pagi-pagi sekali, bukan main! Pagi itu suasana di bandara juga sangat ramai, karena ternyata banyak sekali orang yang akan bepergian pada akhir pekan yang panjang itu.

Begitu mendekat, saya langsung melihat sesosok tanghak SMA yang pernah saya kenal baik, seorang anak dari jurusan Pas (namanya seingat saya Rusdi) sedang antre masuk ke terminal. Langsung saya menghampirinya dan saya sapa, “kamu Rusdi ya? Masih ingat saya enggak?“ Dia mengamati saya sebentar dan keliatannya masih sedikit bingung, maklum sudah begitu lama tidak berjumpa setelah lulus SMA. Setelah saya menyebutkan nama, barulah dia ingat atau pura-pura ingat. He3x.

Di belakang kami ada Vonny, Erni (yang membuat saya rada pangling), Susan yang juga baru tiba (diantar suaminya Jopi yang melambai dari jauh sebelum kembali ke mobil), dan di depan sana ada Herlina yang buru-buru ingin masuk ke terminal aja. Mungkin sudah tidak sabar lagi untuk bisa segera ke Pontianak dan ketemu dengan mantan. Ehm …!

Kami semua antre masuk ke terminal kecuali beberapa rekan panitia yang masih berjaga-jaga di luar menanti tanghak lain yang masih belum tiba. Di dalam terminal ternyata sudah cukup banyak juga tanghak kita yg sedang check-in. Beberapa di antaranya yang saya ingat baik adalah Angela, Sujiwati, Hesty, Marice, Suryani, Ellyanty dan Elly Susanty (si kembar), Untung, Tan Pwe Cun, Rudyono, dan Tan Kee Hiok. Lagi antre check-in, datanglah rombongan Rusminto dan istrinya Elly Sutopo serta kakaknya Harry Po dan Rudy Liehandoyo. Saya sempat kaget dan terharu melihat Rudy yang telah saya kenal sejak di SMP Bruder dulu. Saat itu Rudy dalam proses penyembuhan.

Waktu saya berjumpa dengan Kee Hiok (setelah reuni saya ganti namanya menjadi Cia Hiok; kee alias palsu sedangkan cia berarti asli dalam bahasa China dialek Tio Ciu); langsung saya kenal karena dia boleh dikata tidak banyak berubah dari dulu. Dia juga ternyata masih ingat saya, maklumlah karena kami sama-sama di SD dan SMP Bruder.

A Liat juga datang-datang langsung main tendang dengkul saja saking senangnya, maklum masih bergaya anak muda. Langsung saya tanyakan penafsiran saya tentang yang ko-ko dan ternyata tepat juga, dapat angka 100 (topik ini sempat hangat di milis kita saat itu).

Begitu melihat saya, Ellyanty dan Elly Susanty langsung menanyakan si A-Ngo, “di mana A Ngo, apakah dia ikut kamu?” Jeglek, saya jadi teringat juga, di mana itu tanghak sekarang? “Wah, dia belum nyampe yah? Saya enggak punya nomor HP-nya. “Ini, ini, kita punya no HP-nya, tapi kamu saja yang telepon dia ya?” Wah, ini apa maksudnya? Okay deh, saya coba telepon ke HP yang diberikan tetapi enggak ada jawaban walau pun sudah dicoba berkali-kali. Ternyata ada seorang tanghak lain yang memberitahu, “tadi saya dengar bahwa A Ngo dalam perjalanan ke bandara”. Saya langsung lega juga mendengarnya.

Benar juga, tidak lama kemudian muncullah A Ngo dan beberapa lagi tanghak yang lain seperti rekan panitia yang dari tadi menunggu di luar. Baru saya sadar bahwa ada satu anggota panitia inti yg missing: “hey, kemana si Suk?” “Dia sudah berangkat duluan”, jawab salah seorang tanghak. Wah, rupanya tanghak yang satu ini sudah benar-benar tidak tahan menunggu barang 1 atau 2 hari saja lagi.

Saya melihat semua anggota rombongan ‘sirkus’ Jakarta sedang asyik bicara dengan sesama tanghak, tidak terasa semua sudah check-in dan menuju ke ruang tunggu. Di sana ternyata juga cukup padat dengan penumpang lain sehingga rombongan kita duduknya pada terpisah-pisah. Topik yang kembali dibicarakan adalah kemungkinan pesawat delay lagi seperti yang dialami Cosmas sehari sebelumnya selama 3½ jam. Astaga!

Tapi ada tanghak yang nyelutuk, “si Suk sekarang lagi di warung kopi sambil angkat kaki, katanya di Ponti cuacanya cerah lho jadi tidak bakalan delay.” Amin.

Di ruang tunggu tersebut setelah bicara sebentar dengan Suryani yang menurut seorang tanghak lain tinggalnya juga di daerah Kebon Jeruk, jadi tidak jauh dari tempat saya, barulah saya … klik (BCA) … ini dulu tanghak yang dari SMA dulu sudah ada calon pendampingnya. Diam-diam, tapi hebat lho, cuman jadi enggak ya? Nanti aja deh bila ada kesempatan yang baik baru kita tanyakan (ternyata jadian kok, konfirmasi diperoleh waktu di dalam bis wisata ke Singkawang).

Benar juga, satu persatu batch penumpang yang bukan ke Pontianak dipanggil utk boarding, tinggallah rombongan sirkus ke Pontianak yang masih belum juga dipanggil. Wah, sudah lewat pukul 06.00, delay deh jadinya. Beberapa rekan sudah kelihatan mulai gelisah. Vonny yang biasa minum kopi di pagi hari sudah mulai mencari-cari apakah ada kedai Starbuck di sekitar terminal. Ada sih, tetapi di Terminal 2 sono. Lalu keluar juga pengumuman bahwa pesawat ke Pontianak bakal sedikit delay karena masih ada gangguan asap/kabut. Mendadak terbentuklah kelompok kecil yang mau pergi minum kopi dipimpin oleh Mario. In search of coffee, tau deh dapet enggak. Soalnya saya tidak ikutan. Lagian enggak biasa minum kopi pagi hari.

Setelah delay sekitar sejam, ada lagi pengumuman berikutnya bahwa untuk penumpang yang akan ke Pontianak dipersilakan untuk mengambil kotak snacks di counter. Wah cilaka nih, keliatannya bakalan ada delay 2-3 jam nih, celutuk saya. Salah seorang tanghak, kalo enggak salah A Sang berkata, “jangan salah lho, saya pernah mengalami bahwa setelah disuruh mengambil snacks lalu dipanggil untuk boarding“. Tanghak kita si Asang ini dengan penuh keyakinan diri lalu ke counter. Saya mau ngikutin tapi dicegah si Liat. “Kita lihat dulu lihainya Asang bisa mengambil berapa kotak snacks“. Ternyata Asang memang bonafid, tanpa menunjukkan boarding pass satu pun, dia berhasil mengambil belasan kotak snacks dari petugas counter. Kita para cowok pun bergegas membantu dan membagikan pada para tanghak yang lain. Sementara itu rombongan pencinta kopi juga sudah kembali.

Benar juga, baru saja kita selesai membagikan kotak-kotak snacks tersebut, keluarlah pengumuman bahwa penumpang ke Pontianak diminta untuk mulai boarding. Dengan perasaan lega, berangkatlah rombongan sirkus ke Pontianak , hoore ….

Waktu masuk ke pesawat, ternyata mayoritas rombongan sirkus duduk di deretan belakang. Berhubung rombongan, maka duduknya tidak diatur menurut boarding pass, bisa duduk bebas asal memang jatahnya rombongan sirkus. Tapi pesawat ternyata cukup penuh, tidak banyak seat yang kosong. Saya kebagian duduk di tengah, diapit oleh Angela dan Susan. Yah lumayanlah, Susan kan tidak makan banyak tempat, he3x. Waktu saya menoleh ke belakang, ternyata A Ngo duduk di belakang saya persis, diapit oleh si kembar. Mereka menawarkan tukaran tempat agar saya bisa duduk sama A Ngo. Seperti dulu, si A Ngo hanya bisa ketawa cengengesan, he3x.

Setelah pesawat take-off dan penumpang bisa meninggalkan tempat duduk, barulah terjadi pertukaran tempat sesuai dengan seat mana yang kosong dan bisa diduduki. Sekembalinya dari toilet saya nyangkut di seat yang lain lagi dan sempat omong-omong dengan beberapa tanghak yang lain. Yang paling sibuk kesana kemari adalah A Liat, sedang A Kiat saya liat pada tidur-tidur ayam mungkin capek karena bangun kepagian. Rusminto dan Elly sudah tentu tetap duduk berduaan. Celoteh antara tanghak-tanghak tiada henti-hentinya sehingga tidak terasa tahu-tahu pesawat sudah akan mendarat.

Di bandara Supadio telah menunggu sebagian panitia Pontianak yang menjemput dengan bentangan spanduk yang cukup panjang. Sebuah sambutan yang tidak disangka-sangka, sungguh membanggakan. Setelah mengambil beberapa foto di depan gedung kedatangan, iring-iringan mobil lalu bergegas menuju Hotel Kini tempat menginap selama reuni 3 hari di Pontianak ini.


clip_image002[5]

Catatan berikut ini oleh Sukniarti Dipo

Detik yang dinantikan itu akhirnya tiba juga, dengan beberapa mobil kita beriringan menuju sekolahan SMA Santo Paulus, sekolah yang banyak menyimpan kenangan kita di masa lalu, sekolah yang menghantar kita menuju hari ini. Begitu turun dari mobil, Pak Ignatius yang masih mengajar Olahraga sampai saat ini dan terlihat gagah, menyambut dan menyalami kita satu-persatu. Beliau diikuti oleh sederetan adik-adik kelas dengan seragam mereka, juga menyambut kakak-kakaknya yang pulang dari perantauan (“Adik-adikku, semoga pelajaran hari ini membekas di hati kalian. Ingatlah sehebat apapun kalian kelak, janganlah pernah melupakan masa lalu. Karena tanpa melewati masa itu, kalian tidak pernah mempunyai hari ini”).

Bercampur-aduk perasaan saya ketika menyalami adik-adik kita, antara senang, bangga, terharu, tanpa terasa diam-diam air mata menetes dari sudut mataku, ternyata tanghak-tanghak lain juga punya perasaan begitu. Memasuki halaman sekolah kita disambut drumband (walaupun seragam mereka tetap masih khas warna merah, tapi cara mereka bermain drumband lebih bervariasi dan jauh lebih maju dibanding dulu), beberapa tanghak yang dulu pernah aktif berada di Grup Drumband jadi teringat masa lalu, masa yang tidak bisa diputar kembali, betapa indahnya kenangan masa itu.

clip_image004Di depan terlihat beberapa adik kelas sedang bermain basket, menggoda tangan gatal para penggiat basket angkatan kita seperti Ngak Ciang, Nam Neng, Yong Hui dan beberapa tanghak lain yang dengan gesit menjaringkan bola ke dalam ring (hm, masih jitu juga! hingga mendapat aplaus). Diam-diam saya menerawang teringat selembar foto masa lalu, ketika saya dan keenam tanghak saya sempat berfoto dengan baju olahraga di tengah rerumputan halaman sekolah, benarkah 29 tahun telah berlalu?! Sedih juga menghadapi kenyataan bahwa kami tidak bisa berkumpul lengkap pada hari itu.

Tiba-tiba bel dibunyikan oleh tanghak kita Ali Susanto, memecahkan lamunan kita semua. Dengan suara ribut berbondong-bondong kita naik ke lantai atas memasuki ruang kelas masing-masing di lantai 2 bagian kanan. Gedung yang kita tempati dulu sudah berubah fungsi menjadi gedung SMP dan kurang terawat (kelas SMA sudah dipindahkan ke belakang, menempati gedung baru yang lebih modern). Namun bangku, meja dan lain-lainnya belum banyak berubah.

Betapa hebohnya kita semua, rasanya lupa sudah hampir setengah abad usia saat ini. Kita menjelajah semua ruang kelas, mulai dari kelas Sos A yang adalah paling penuh. Tidak salah mantan ketua kelas Sos A Erwanto yang juga pulang dari Jakarta berani membusungkan dadanya dan berkata bangga, “makanya jangan masuk Pas, pas-pasan, masuklah Sos, kaya-kaya semua, he3x”. Memang rombongan dari Jakarta juga paling banyak dari Sos A, tetapi yang dari Pas jangan marah ya. Cuma bercanda karena dari dulu kelakuan anak Sos memang begitu, tidak suka yang terlalu serius, sukanya menggoda orang, termasuk saya, oops! ngaku juga).

clip_image002[7]

Ketika kita sedang bercengkerama di depan kelas, Cosmas mendapat telepon dari Tan Ke Hiok (tanghaknya sesama kelas Pas B), ternyata dia ketinggalan mobil waktu sedang berada di toilet. Berhubung letak SMA Santo Paulus tidak terlalu jauh, dia bilang akan datang sendiri. Lucunya dia diarahkan orang hotel ke kiri, sedangkan Lily Agustin mengarahkannya ke kanan. Jadilah hari itu Ke Hiok menjadi turis lokal yang nyasar kiri-kanan terbingung-bingung. Untunglah akhirnya dia berhasil sampai juga ke sekolahan, mungkin dengan petunjuk kompas (ha3x).

Setelah puas berfoto-foto, kita turun ke lantai bawah di gedung baru SMA Santo Paulus untuk menikmati waktu istirahat. Bakso Acek, sate Mamang, chai kue, dan banyak lagi jenis makanan lainnya sudah siap menunggu untuk disantap. Sibuklah tanghak-tanghak bercerita tentang masa lalu, tentang siapa naksir siapa dulu, bagaimana deg-degannya si anu ketika pujaan hatinya lewat, betapa rindu dendam menunggu si dia, wah3x. Rupanya tanghak-tanghak pria banyak yang menyimpan uneg-uneg yang baru dilontarkan setelah 29 tahun berlalu. Saya pun tidak terlepas dari godaan mereka. Ya, seperti yang saya katakan di awal cerita, terlepas dari kita suka atau tidak kepada orang yang menyukai kita, dikagumi seseorang adalah hal yang alamiah, jalani saja. Bagaimana dengan tanghak-tanghak wanita? Sayang budaya timur tidak mengijinkan mereka untuk bercerita, perasaan mereka tetap terpendam selamanya. Mungkin hanya gedung sekolah yang tahu, siapa yang terpendam di dalam hati mereka 29 tahun yang lalu?!

Teringat di tahun itu ketika musim kirim-mengirim lagu, saat itu “Diah Rosanti” menjadi salah satu saluran radio yang top di kota Pontianak. Saat itu lagu “When I need you”, “Sailing”, dan “Feeling”, menjadi lagu-lagu yang sedang trendy. Tanghak-tanghak kelompokku juga aktif mengikuti acara tersebut. Kemana ya sang pengirim lagu peneman tidur itu? Apakah ada tanghak-tanghak yang juga suka mengikuti acara ini?

Setelah puas makan-makan dan bernostalgia, setiap kelas berfoto bersama. Dari yang paling banyak, tentu saja Sos A!! Menyusul Sos B, kemudian Pas-A, lalu Pas-B yang makin sedikit dan terakhir tinggal Bud yang tinggal 2 orang saja (wahai tanghak-tanghakku, di manakah kalian berada saat itu?)

Setelah keluar dari gerbang sekolah, dengan hati yang bercampur-aduk dan cerita yang tidak pernah selesai, kami beramai-ramai menuju Warung Es Krim di depan SMA Stu. Petrus. Pemandangan sudah jauh berubah dibanding dulu, tempat yang tadinya masih sepi dan lengang telah dipenuhi rumah-rumah mewah. Kami semua antre berebut minta dilayani duluan, sampai penjualnya pun kerepotan, entah siapa yang mau dilayani duluan. Gerimis kecil menyirami bumi Khatulistiwa seakan ikut menyambut kami semua, hujan yang lama tidak pernah turun mungkin ikut merasa iri melihat kemesraan kami. Kalau dulu Kepala Sekolah melihat kemesraan ini, mungkin tidak perlu ada program pembauran. Di sudut sana, dalam kondisi terang benderang, Rosyanti dan Yong Hui yang kebetulan satu profesi (dokter gigi) duduk bersanding dengan mesra, entah janji apa yang mereka saling tagihkan.

Kita semua balik ke hotel, beristirahat sejenak lalu bersiap-siap untuk menyambut pesta malam Reuni. Yang pertama setelah 29 tahun!


Catatan tambahan oleh Cosmas Christanmas

Sukniarti pulang ke Pontianak duluan pada Jumat 18 Agustus 2006 karena libur hari kejepit. Ke sana dia mengajak pasangan Sunjoto (Afen dan istri A Suan) yang tiba dari China pada malam sebelumnya. Di Pontianak dia menikmati hari panjang yang menyenangkan, berkumpul dengan keluarga besarnya di sana. Bersama Afen, mereka mengantar undangan reuni untuk bapak Uskup Agung Pontianak yang secara lisan telah lama berjanji untuk hadir.

Bony Sukamto juga sudah duluan pulang kembali ke Pontianak untuk mengunjungi keluarga besarnya. Bersama dengan tanghak panitia di Pontianak, dia ikut mengantarkan undangan untuk para guru tercinta: bapak Hasan Basri, bapak Djunaidi Kasim, ibu Suginem, bapak Ade Ismael, bapak Sudarto, bapak Harsono, bapak Ignatius, bapak Leo Sutrisno, dan lain-lain.

Saya juga pulang duluan, Kamis 17 Agustus 2006 dengan harapan bisa langsung ke Ketapang dulu tetapi batal karena gangguan kabut asap.

clip_image002[9]

Sebagai pemanasan bagi tanghak-tanghak yang telah tiba duluan di Pontianak, diadakan pertemuan pendahuluan di rumah Frendys Lukito pada Jumat malam, 18 Agustus 2006 dengan hidangan khas setempat dan durian. Banyak sekali yang hadir dan dari sana juga sudah terbina keakraban dan rasa persaudaraan di antara kita.

Berpisah selama 29 tahun, banyak tanghak kita yang sudah berubah wajah dan ukuran raga sehingga menyulitkan untuk saling mengenal. Untung panitia Jakarta melalui inisiatif Bony Sukamto sudah menyiapkan tanda nama untuk dicantumkan di baju bagian dada. Terima kasih Bony.


Antara Pontianak – Singkawang >>>